News Update :

Sajian Terbaru:

Audio Rekaman


Topik Selengkapnya »

Risalah Dakwah Manhaj Salaf


Topik Selengkapnya »

Kategori Manhaj


Topik Selengkapnya »

Wahai Para Suami, Jagalah Istri-istri dan Keluarga Kalian

Wednesday, January 2, 2013

Khutbah yang sangat menyentuh.
Ingin tahu Suami yang KEJAM TERHADAP ISTRINYA? Silahkan dengarkan khutbahnya..

Link download: Jagalah Istri kalian wahai para Suami.mp3

Metode Yang Selamat (Bagian 2)

Tuesday, January 1, 2013

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

10. Masalah Taqdir

Para ulama ahlus sunnah sejak zaman shahabat sampai hari ini berkeyakinan bahwa semua apa yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ. القمر: 49

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan taqdir. (al-Qamar: 49)

Namun mereka tetap berupaya dan berusaha untuk beramal sesuai dengan perintah Allah dalam syariat-Nya. Dengan keyakinan bahwa Allah yang menentukan mereka tidak sombong dengan usahanya dan terus berharap kepada Allah.

Dengan prinsip ini mereka selamat dari kesesatan aliran Qadariyah dan Mu’tazilah yang mengingkari adanya taqdir Allah dan juga selamat dari kesesatan aliran Jabriyyah yang pasrah kepada taqdir dan tidak mau berupaya dan berusaha, bahkan mereka menolak syariat dan menganggap bahwa orang kafir tidak bersalah dan tidak perlu dicela dan orang yang beriman tidak perlu dipuji karena semua itu dengan taqdir Allah.

11. Masalah Ketaqwaan

Ahlus sunnah menilai seseorang dengan ketaqwaannya, tidak melihat turunan atau bentuk tubuhnya, apalagi status sosialnya. Karena menurut mereka orang yang paling mulia adalah orang yang paling taqwa.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujuraat: 13)

Ketaqwaan yang dimaksud adalah taat dan tunduknya seseorang kepada al-Qur’an dan sunnah, maka jika aqidah seseorang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah demikian pula amalan ibadahnya mengikuti sunnah, maka dia adalah seorang yang bertaqwa secara lahirnya, sedangkan hatinya adalah urusan Allah subhanahu wa Ta’ala.

12. Masalah Pergaulan

Para ulama ahlus sunnah sejak dulu selalu memperingatkan agar berhati-hati dalam pergaulan agar kita tidak ‘bergaul’ kecuali dengan seorang yang taqwa yaitu yang bertauhid, berpegang dengan sunnah dan mengikuti jejak para shahabat. Atau paling tidak dengan orang awam yang masih menghormati sunnah. Hal ini adalah dalam rangka menjaga kita agar jangan sampai terbawa dengan pemikiran-pemikiran rancu dan pemahaman sesat. Tentunya para ulama memperingatkan yang seperti ini berdasarkan ayat dan hadits seperti:

يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلاَنًا خَلِيلاً. الفرقا: 28

Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab (ku). (al-Furqan: 28)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِطُ. رواه أحمد

Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya. Maka lihatlah sesorang di antara kalian dengan siapa dia bergaul. (HR. Ahmad)

Dengan prinsip ini kita selamat dari kejumudan sufi yang tidak bergaul dan tidak amar ma’ruf nahi mungkar mengikuti para biarawati di gereja-gerejanya dan selamat pula dari kelompok yang justru membanggakan “keluwesannya” dalam bergaul. Mereka bisa bergaul dengan kelompok sesesat apapun sehingga mereka dikenal dengan istilah ‘dai gaul’, moderat, yang akhirnya sadar atau tidak sadar ia melenceng jauh dari jalan sunnah.

13. Masalah Pengkafiran

Ahlus sunnah tidak sembarangan mengkafir-kafirkan kaum muslimin. Karena menurut mereka tidak setiap orang yang melakukan perbuatan kufur, maka ia kafir. Seperti perbuatan seorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah perbuatan kufur seperti ayat Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ. المائدة: 44

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (al-Maaidah: 44)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah “kufrun duuna kufrin” yang artinya perbuatan kufur yang tidak membawa pada kekafiran. (Atsar riwayat Hakim; dan dishahihkan oleh Hakim dan disepakati oleh Dzahabi)

Maka bagi seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah bisa jadi kafir keluar dari Islam, bisa jadi pula seorang yang berdosa besar namun tidak kafir, yang demikian tergantung keadaan niat, keadaan ilmu yang sampai padanya dan lain-lain.

Dengan ini mereka selamat dari kesesatan khawarij yang menyamaratakan mereka yang bodoh, terpaksa, terbawa hawa nafsu atau yang menentang Allah dan rasul-Nya dengan sengaja, maka mereka pun mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.

14. Masalah Tabdi’
Dalam masalah tabdi’ pun para ulama memiliki kaidah agar kita tidak sembarangan mencap seorang sebagai ahlul bid’ah (mubtadi’) karena tidak setiap orang yang melakukan kebid’ahan berarti dia mubtadi’. Bisa jadi ia tidak mengerti, maka yang diperlukan adalah memberikan pengertian kepadanya. Atau bia jadi ia memakai hadits yang dikira shahih ternyata hadits tersebut dhaif, maka yang diperlukan adalah penjelasan tentang kedhaifan hadits tersebut.

Dengan dakwah sunnah kepada mereka dengan jelas dan gamblang akan terbedakan mana orang-orang yang bodoh dan tidak mengerti dan mana para penentang sunnah yang menentang hadits shahih dengan perasaan dan hawa nafsunya (ahlul ahwa).

Dengan kaidah ini kita selamat dari pemikiran ekstrim haddadiyyah yang meninggalkan kitab-kitab para ulama ahlus sunnah yang terlgelincir pada beberapa kebid’ahan seperti Ibnu Hajar dan Imam Nawawi.

15. Masalah Dakwah

Dalam masalah dakwah para ulama mengelompokkan manusia dalam tingkatan-tingkatan tertentu dengan cara dakwah tertentu pula seperti ucapan Ibnul Qayyim bahwa manusia ada 3 jenis.
  1. Manusia yang siap menerima, maka didakwahi dengan hikmah yaitu dengan ilmu (perintah dan larangan).
  2. Manusia yang tergoda dengan dunia maka dia didakwahi dengan mauidhah hasanah yaitu dengan targhib dan tarhib (kabar gembira dan ancaman).
  3. Manusia yang menentang dakwah , maka didakwahi dengan bantahan-bantahan yang baik dengan hujjah-hujjahnya yang tegas dan jelas.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل: 125

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an-Nahl: 125)

16. Masalah Hikmah

Menurut ulama ahlus sunnah, makna hikmah tidak mesti harus selalu berbuat lembut, tidak pula harus selalu keras. Hikmah di samping bermakna ilmu seperti point di atas, juga dapat bermakna ketepatan dalam penerapan dakwah. Kapan ki-ta harus bersikap keras dan kapan pula kita harus bersikap lembut?

Adapun hukum asal dalam berdakwah adalah dengan kelembutan. Kalau ternyata cukup dengan kelembutan, mengapa harus dengan kekerasan? Namun pada saat dan dalam kondisi tertentu, sikap keras kadang-kadang diperlukan, karena seekor sapi tidak akan mengerti kecuali dengan cemeti.
Dengan prinsip ini, maka mereka selamat kejelekan-kejelekan yang diakibatkan salah penempatan.

17. Masalah Jama’ah

Perintah jama’ah menurut para ulama ahlus sunnah adalah masyarakat muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Mereka memahami hadits-hadits tentang jama’ah dengan makna ini, seperti apa yang terdapat dalam hadits:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ. متفق عليه

Tetaplah kamu bersama jama’ah kaum muslimin dan pimpinannya. (HR. Bukhari Muslim)

…عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ… رواه الترمذي

Wajib bagi kalian berjama’ah dan jauhilah dari perpecahan. Karena sesungguhnya setan beserta orang yang satu, dan dengan dua orang lebih jauh. Barangsiapa yang menghendaki tengah-tengahnya surga, maka wajib baginya bersama jama’ah. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim; Syaikh al-Abani menshahihkannya dalam Shahih Jami’ ash-Shagir)

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. متفق عليه

Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dibencinya dari penguasanya, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya barangsiapa yang melepaskan dari jama’ah sejengkal saja kemudian ia mati, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. (HR. Bukhari Muslim)

Betapa mengerikannya kalau hadits-hadits seperti di atas ditarik pada makna kelompok-kelompok, organisasi-organisasi atau partai-partai tertentu. Karena yang akan terjadi adalah kebingungan masyarakat muslimin. Jika mereka ada dalam kelompok yang satu dianggap jahiliyyah oleh kelompok yang lain. Jika ia tunduk kepada pimpinan kelompok A, maka akan dianggap bughat (pemberontak) oleh kelompok B.

18. Masalah Imamah
B
erkaitan dengan point di atas, ahlus sunnah menyatakan bahwa seorang imam adalah penguasa yang benar-benar memiliki kekuasaan di wilayahnya, selama mereka masih muslimin. Bukan pimpinan orgaisasi, ataupun kelompok-kelompok sempalan, walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Jama’ah Islamiyah (JI). Apalagi pimpinan-pimpinan partai tertentu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

…وَمَنْ يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي. متفق عليه

Barangsiapa yang mentaati penguasanya maka ia telah mentaatiku. Dan barang-siapa yang bermaksiat kepada penguasanya, maka ia telah bermaksiat kepadaku. (HR. Bukhari Muslim)

19. Masalah Bai’at

Demikian pula dengan masalah baiat yang bermakna sumpah setia dengan nama Allah untuk tetap tunduk dan taat, ahlus sunnah menyatakan bahwa baiat itu hanya ditujukan kepada imamul a’zham yaitu penguasa muslim selama ia muslim dan masih mengerjakan shalat, bukan kepada pimpinan kelompok organisasi atau pun partai-partai tertentu.

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم

Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dengan tidak ada hujjah baginya. Dan barangsiapa yang mati dan tidak ada di lehernya baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. (HR. Muslim)

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika setiap kelompok mempunyai imam, JI dengan imamnya sendiri, demikian pula dengan Islam Jama’ah, Jama’ah Muslimin (Jamus), NII dan lain-lainnya, dan semuanya mengajak kaum muslimin berbaiat kepada imamnya masing-masing? Sedangkan jika ada dua/lebih kepemimpinan yang dibaiat, maka diperintahkan untuk memerangi salah satunya. Maka mesti yang akan terjadi adalah perang saudara sesama muslimin.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا بُوْيِعَ خَلِيْفَتَانِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم

Jika dibai’at dua khalifah, maka perangilah yang terakhir dari keduanya. (HR. Muslim)

Demikianlah prinsip-prinsip ahlus sunnah secara ringkas yang kami sarikan dari kitab-kitab para ulama seperti: Aqidah Salaf oleh Imam Abu Utsman Ash-Shabuni, Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahari, asy-Syari’ah oleh imam al-Aajurri, Majmu’ Fatawa juz 3 dan 4 oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dan lain-lain.

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 125/Th. III 22 Dzulhijjah 1427 H/12 Januari 2007 M.

Teror Khawarij Merusak Citra Islam

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Sungguh sangat fatal akibat yang di-timbulkan oleh kaum reaksioner khawarij akhir-akhir ini. Mereka menyebabkan gambaran Islam sangat menakutkan di mata manusia. Akhirnya islamophobia menjalar di masyarakat. Mereka menganggap kalau seseorang bersungguh-sungguh mempelajari syariat Islam akan menjadi manusia-manusia ekstrim yang menumpahkan darah manusia, meneror, membikin kerusuhan-kerusuhan serta pemberontakan-pemberontakan.

Gambaran ini tidak hanya ada di benak orang-orang kafir, bahkan sebagian kaum muslimin menganggap tidak perlu memperdalam Islam, karena dikhawatirkan akan mengakibatkan hal-hal di atas.

Sungguh para pengacau khawarij memikul dosa besar atas rusaknya gambaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam ini. Padahal sesungguhnya diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam membawa Islam ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ. الأنبياء: 107

Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (al-Anbiya’: 107)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata tentang ayat ini: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka Allah tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka dengan datangnya Rasul selamatlah dari adzab di dunia, seperti ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/222)

Yakni tidak diadzab dengan adzab yang merata seperti kaum ‘Ad, Tsamud atau seperti kaum Nuh yang ditenggelamkan secara keseluruhan dan lain-lain.

Oleh karena itu ketika malaikat gunung datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam terusir dari kaumnya, dilempari dengan batu di Thaif, kakinya berdarah, duduk di luar kota bersama sepi, bermunajat kepada Allah.

Malaikat itu datang dan berkata: “Aku diutus Allah untuk mentaati perintahmu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Ya Allah, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui.” (Lihat Shirah Ibnu Hisyam)

Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau berdoa agar Allah memberikan hidayah.

Pernah suatu hari beliau didatangi oleh Thufail Ad-Dausi. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus menentang dan menolak dakwah ini. Maka doakanlah agar Allah menghancurkan mereka.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam pun menghadap kilblat mengangkat kedua tangannya. Para shahabat yang ada di situ berkata: “Binasalah Daus!” Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam mengucapkan doa:

اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ. × 3

Ya Allah, berilah hidayah pada suku Daus dan bawalah mereka kemari. (beliau mengucapkannya tiga kali).

Doa beliau ternyata maqbul. Suku Daus datang berbondong-bondong kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam untuk masuk Islam. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً .رواه مسلم

Pernah dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin.” Maka Rasulullah menjawab: “Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. رواه الدارمي

“Wahai Manusia, hanya saja aku diutus sebagai rahmat yang diberikan”. (HR. Darimi)

Maka dengan dasar inilah ahlus sunnah wal jama’ah berbeda dengan kaum reaksioner khawarij dalam menyikapi penguasa yang dhalim. Mereka tidak menghadapinya dengan kekerasan yang seringkali membawa kerusakan, pertumpahan darah dan kerugian-kerugian yang lebih besar dari kedhaliman penguasa itu sendiri.

Ahlus sunnah wal jama’ah mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam yaitu menasehati dan mendoakan agar para penguasa tersebut mendapatkan hidayah dan taufiq, bukan sebaliknya dengan melaknat atau mencaci-maki mereka dengan do’a-do’a kejelekan apalagi memberontak.

Berkata Ath-Thahawi Rahimahullah:  

“Kami tidak berpendapat bolehnya memberontak kepada Imam dan pemerintah-pemerintah kami, walaupun mereka berbuat jahat. Kita tidak mendoakan kejelekan atas mereka dan tidak mencabut ketaatan terhadap mereka. Kami berpendapat taat kepada mereka merupakan ketaatan kepada Allah dan merupakan kewajiban selama mereka tidak memerintahkan pada kemaksiatan dan kita berdoa untuk mereka dengan kebaikan dan ampunan.” (Al-Aqidah At-Thahawiyah, hal. 47 – 48)

Di antara yang menambah jelas dasar mengapa Ahlus Sunnah sangat mementingkan perkara ini adalah apa yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sunnah oleh Imam Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari Rahimahullah di mana beliau berkata: “Jika engkau melihat seseorang berdoa kejelekan atas penguasa, maka ketahuilah kalau dia adalah pengikut hawa nafsu. Dan jika engkau mendengar seseorang berdoa untuk penguasa dengan kebaikan maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah insya Allah”.

Bahkan Fudhail bin Iyadl berkata: “Kalau saja aku memiliki satu doa (yang dikabulkan), niscaya aku tidak akan menjadikannya kecuali untuk penguasa”. (Di-keluarkan oleh Abu Nu`aim dalam Al-Hilyah juz 8 hal. 91)

Dalam riwayat lain, beliau mengatakan:

“Kalau aku berdoa untuk kebaikanku, maka tidak terkena pada orang lain. Namun, kalau aku mendoakan penguasa, maka penguasa akan baik dan akan baik pula dengan kebaikannya pula seluruh kaum muslimin”.

Berkata Ibnu Abdil Barr Rahimahullah :  

“Jika tidak memungkinkan untuk menasehati penguasa, maka bersabarlah dan berdoalah”.

Berkata Abu Usman As-Shabuni Rahimahullah:  

“Dan mereka (Ahlus Sunnah, pent) berpendapat untuk berdoa bagi mereka dengan perbaikan, taufiq, kebaikan, dan adil terhadap rakyat. Dan mereka tidak berpendapat bolehnya memberontak kepada mereka dengan pedang, walaupun mereka melihat padanya ada penyimpangan-penyimpangan dari keadilan kepada kedhaliman, dan kecurangan”. (Aqi-datus Salaf Ashabul Hadits hal. 106)

Berkata Abul Hasan Al-Asy’ari Rahimahullah:

“Ahlus Sunnah berpendapat untuk berdoa kebaikan bagi para penguasa dan agar tidak memberontak kepada mereka dengan pedang dan tidak ikut berperang dalam fitnah”. (I`tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah Ashabul Hadits, hal. 133)

Berkata Abu Bakar Al-Isma’ili Rahimahullah:  

“Mereka (Ahlus Sunnah) berpendapat untuk mendoakan bagi mereka kebaikan dan agar cenderung kepada keadilan. Dan mereka tidak berpendapat untuk memberontak kepada mereka dengan pedang. Dan tidak pula untuk ikut berperang dalam fitnah. Mereka berpendapat untuk memerangi kelompok penentang bersama imam yang adil jika terdapat syarat-syarat yang demikian pada mereka”. (I’tiqad A’imatu Ahlil Hadits hal. 75)

Dengan demikian, maka menjatuhkan kehormatan para penguasa, sibuk mencaci-maik mereka, menyebut aib-aib mereka merupakan kesalahan besar dan pelanggaran yang fatal yang dilarang oleh syariat yang suci dan pelakunya tercela. Dan perbuatan yang demikian merupakan bibit-bibit pemberontakan terhadap para penguasa yang merupakan sumber kerusakan agama dan dunia sekaligus. (lihat Mu’amatul Hukkam fi Dlauil Kitab was Sunnah hal. 173)

Berkata Al-Imam Abul Hasan Al-Asy`ari rahimahullah:  

“Mereka (Ahlus Sunnah, pent) sepakat (ijma’, pent) untuk menasehati kaum Muslimin, berloyal dengan jamaah (daulah, pent) mereka dengan saling berkasih-sayang di jalan Allah serta berdoa dengan kebaikan bagi para penguasa-penguasa kaum Muslimin dan berlepas diri dari orang-orang yang mencela seseorang dari shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam”. (Risalah Ahlul Atsar, hal. 311)

Berkata Al-Marwazi Rahimahullah:

“Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad, pent) disebutkan tentang khalifah al-Mutawakkil Rahimahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku berdoa untuknya dengan kebaikan dan `afiyah.” (Dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah Q2/A dengan sanad yang shahih)

Berkata Abu Utsman Sa’id bin Ismail Al-Wa’idh Az-Zahid Rahimahullah:  

“…maka nasehatilah penguasa, perbanyaklah untuknya doa dengan kebaikan dan petunjuk dengan perbuatan, amalan dan hikmah! Karena sesungguhnya mereka jika baik, maka akan baik pula para hamba Allah dengan kebaikannya. Dan hati-hatilah kamu dari berdoa dengan laknat atas mereka karena jika bertambah pada mereka kejelekan, bertambah pula bencana bagi kaum Muslimin. Maka berdoalah untuk mereka agar bertaubat dan meninggalkan kejelekan. Maka akan terangkatlah bencana dari kaum Mukminin.” (Lihat Al-Jami` li Syu’abil Iman oleh Al-Baihaqi juz `13 hal. 99)

Berkata Syaikh Muhammad bin Tsubayyil hafidhahullah:

“Ahlus Sunnah wal jamaah memperingatkan agar jangan menjatuhkan kehormatan para penguasa dan merendahkan mereka atau mendoakan kejelekan bagi mereka, karena sesungguhnya perkara-perkara ini termasuk penyebab munculnya kedengkian dan hasad antara pemerintah dan rakyat. Dan juga menyebabkan munculnya fitnah dan pertikaian di dalam barisan umat.” (Al-Adillatus Syar`iyyah fi Bayani Haqqur Ra`i war Ra`iyyah hal. 25)

Diriwayatkan dari Hilal bin Abi Humaid, dia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Ukaim berkata:

”Aku tidak akan mendukung tertumpahnya darah khalifah setelah Utsman selama-lamanya”, kemudian dikatakan kepadanya: ”Wahai abu Ma’bad apakah engkau membantu tertumpahnya darah Utsman?” Ia menjawab: ”Sungguh aku waktu itu ikut menyebutkan kejelekan-kejelekan Utsman dan itu membantu tertumpahnya darah beliau”. (Atsar Shahih, dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqatul Kubra, juz VI, hal. 115)

Ucapan-ucapan ulama ahlus sunnah di atas seluruhnya membawa hikmah yang besar yaitu terwujudnya keamanan dan ketentraman dengan tetap tidak meninggalkan nasehat untuk para penguasa. Inilah rahmat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus sunnah sepanjang masa.

Sungguh sangat disayangkan gambaran Islam yang indah dan sejuk ini dikotori oleh perbuatan segelintir orang-orang bodoh yang hanya bermodal semangat tanpa ilmu.

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salah Edisi: 86/Th. II 07 Dzulqa’dah 1426 H/09 Desember 2005 M

Terorisme Berawal Dari Kesesatan

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Seringkali manusia menyadari baha-yanya sesuatu setelah kejadiannya. Mereka lebih suka mengobati daripada mencegahnya. Demikian pula halnya dengan terorisme, setelah jatuh korban harta dan nyawa, baru mereka berpikir bagaimana mereka menanggulangi wa-bah tersebut.

Padahal munculnya teror-teror tersebut merupakan buah dari kesesatan yang sudah lebih dulu berurat dan berakar. Maka hanya dengan tindakan re-presif saja, tidak akan meredam apalagi menghentikan praktek-praktek kekerasan berdarah tersebut. Namun harus mencegahnya dengan memberantas kesesatan dan penyimpangan dari akar-akarnya.

Teror Syi’ah

Kita lihat dalam sejarah Islam, gerakan kesesatan Abdullah bin Saba’ yang kemudian dikenal dengan nama As-Sa-ba’iyyah sangat berperan dalam berbagai macam teror dan tragedi berdarah. Sejak terbunuhnya Utsman bin Affan kemudian Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu hingga berbagai macam pemberontakan berdarah yang terjadi setelahnya.

Pemikiran Saba’iyyah ini berkembang menjadi berbagai macam aliran Syiah yang berprinsip mengkafirkan hampir seluruh para shahabat dan pengi-kut mereka, kemudian menghalalkan harta dan darah mereka. Sedangkan dalam politik, mereka berprinsip meng-halalkan darah penguasa yang bukan dari kalangan mereka. Bahkan di antara mereka ada yang menulis buku tentang Umar bin Khathab yang berjudul `Aqdud Durar fisy Syarhi Baqri Bathni Umar yang bermakna “Rangkaian Mutiara dalam Penjelasan Kasus Robeknya Perut Umar”. Dalam buku itu penulisnya berkata: “Inilah salah satu contoh yang menarik yang menjelaskan tentang matinya sang penguasa durjana, pendusta yang banyak berdosa, Umar bin Khathab….”

Demikianlah kesesatan saba’iyyah yang terus pengaruhnya berurat-berakar dan menyebar dari generasi ke generasi yang kemudian memunculkan tidak hanya satu praktek terorisme, tetapi sekian banyak teror disebabkan karena satu pemikiran sesat tersebut.

Bahkan kejadian di masa kita yaitu kekacauan di masjidil Haram yang hampir terjadi tiap tahun, juga dilakukan oleh pengikut aliran Saba’iyah yaitu kaum Syiah Rafidlah dari Iran. Teror yang terbesar terjadi pada tahun 1407 Hijriah. Ketika itu mereka mengadakan demonstrasi, menyebarkan tulisan-tulisan yang memprovokasi masa muslimin. Maka bergeraklah mereka merusak pertokoan, membakar mobil-mobil, hingga terjadi kebakaran besar dan membawa korban yang tidak sedikit. Waktu itu terbunuh dari kalangan Muslimin 402 orang dan delapan puluh lima di antaranya adalah aparat keamanan.

Dua tahun berikutnya yaitu 1409 Hijriah terjadi kembali. Bahkan mereka membawa bahan-bahan peledak. Ini semua dilatarbelakangi oleh dasar pemikiran yang sama yaitu pemikiran Syiah/Rafidhah yang berakar dari Saba’iyah yang membenci para shahabat Nabi dari Abu Bakar, Umar, Utsman serta pengikut mereka dari kalangan para shahabat dan para ulama setelahnya. Mereka menjulukinya sebagai pengkhianat, murtad dan kemudian menghalalkan darahnya. Dasar kebencian inilah yang mengakibatkan terjadinya berbagai macam bentuk teror-teror di tengah-tengah kaum Muslimin.

Teror Khawarij

Berakar dari tragedi pembunuhan Utsman, muncul pula aliran-aliran yang tumbuh karena ketidak-puasan kepada penguasa, di antaranya pemikiran Kha-warij atau kaum reaksioner. Mereka berani menghalalkan harta dan darah kaum Muslimin hanya karena dosa-dosa yang dilakukan oleh para penguasa tersebut. Kita bisa bayangkan, kalau mereka tidak puas dengan orang seperti Utsman ibnu Affan –yang merupakan manusia terbaik setelah Abu Bakar dan Umar– dan menuduhnya telah melakukan korupsi serta lebih mementingkan keluarga dan sukunya, apalagi terhadap para penguasa setelahnya yang tentunya jauh di bawah Utsman bin Affan.

Dengan kesesatan berpikir seperti ini, mereka tidak akan puas dengan para penguasa mana pun dan tidak akan lepas satu penguasa pun dari pengkafiran mereka. Tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa mereka adalah biang kerusuhan sepanjang masa (GPK). Sesuai de-ngan namanya Khawarij yang bermakna “aliran pemberontak”.

Perang saudara yang terjadi di negara-negara Islam atau negara-negara kaum Muslimin juga disebabkan karena pemikiran sesat khawarij ini. Mereka mengkafirkan para penguasa Muslim hanya karena dosa-dosa yang mereka lakukan, bahkan berani mengkafirkan para ulama yang membantah pemikiran mereka. Inilah kesesatan mereka yang memunculkan praktek-praktek terorisme, kerusakan, kekacauan, kerusuhan dan pertumpahan darah yang terus terjadi di mana-mana. Alasan mereka adalah membunuh dan meneror orang-orang kafir, padahal di antara yang terbunuh juga ada kaum muslimin.

Kesesatan dan hawa nafsu mereka tersebut menjadi penghalang mereka untuk mengerti bahwa tidak setiap orang kafir dapat diperangi. Ada sebagian orang kafir yang dilindungi darahnya karena sebagai tamu misalnya, yang terikat perjanjian (kafir mu’ahad), atau orang kafir yang mau tunduk pada pe-nguasa muslim dan membayar jizyah (kafir Dzimmi).

Kesesatan mereka menutup mata mereka untuk membaca ayat Allah Subhanahu Wata’ala berikut:

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. (الممتحنة: 8-9)

Allah tidak melarang kalian untuk ber-buat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang (kafir) yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka seba-gai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (al-Mumtahanah: 8-9)

Hawa nafsu mereka juga mengha-langi mereka untuk membaca hadits yang diriwayatkan Abdullah bin UmarRadhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا. (رواه البخاري في كتاب الجزية والموادعة)

Barangsiapa yang membunuh orang karif mu’ahad tidak akan mencium bau surga, walaupun harumnya tercium dari jarak 40 tahun. (HR. Bukhari)

Ancaman keras ini membantah ucapan salah seorang dari mereka: “Kalau anda melihat video ini, maka aku sudah ada di surga”

Kebodohan mereka ini juga menghalangi mereka untuk memahami hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tentang orang-0rang kafir yang menjadi tamu atau utusan. Ketika datang dua orang utusan dari Musailaimah al-Kadzab yang mengaku nabi untuk meminta pembagian wilayah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam marah dan berkata:

آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ لَوْ كُنْتُ قَاتِلاً وَفْدًا لَقَتَلْتُكُمَا. (رواه أبو داود)

Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Sungguh kalau aku membolehkan membunuh utusan, niscaya akan aku bunuh kalian berdua. (HR. Abu Dawud)

Demikianlah semua pemahaman sesat dan menyimpang dari relnya, yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sha-habat yang mulia pasti akan membawa kepada pertikaian, perpecahan yang berakhir dengan pertumpahan darah.

Berkata imam al-Barbahari Rahimahullah :

وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأَهْوَاءَ كَلُّهَا رَدِيَّةٌ تَدْعُوْ كُلُّهَا إِلَى السَّيْفِ وَأَرْدَؤُهَا وَأَكْفَرُهَا الرَّوَافِضُ وَالْمَعْتَزِلَةُ وَالْجَهْمِيَّةُ.

“Ketahuilah, sesungguhnya “hawa nafsu” (pemahaman sesat) seluruhnya jelek. Ia seluruhnya mengajak pada pedang (pertumpahan darah). Dan yang paling jelek dan paling kafirnya adalah Syi’ah Rafidlah, Mu’tazilah dan Jahmiyyah. “

Imam Abu Qilabah rahimahullah mengatakan:

مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ.

“Tidak seorang pun mengambil pemahaman bid’ah (sesat), kecuali akan berakhir dengan pedang (pertumpahan darah).” (Lihat Syarhus Sunnah Imam Al-Barbahari, point 146)

Demikianlah kesesatan mereka menjadikan mereka teroris. Mereka menggeneralisir seluruh orang kafir, tidak dapat membedakan mana kafir harbi, Mu’ahad atau dzimmi, tidak pula membedakan laki-laki, perempuan dan anak-anak. Bahkan mereka mengkafirkan kaum muslimin dan menghukumi-nya sama dengan kafir harbi.

Maka –wahai orang-orang yang mencintai kebaikan– sesungguhnya pengobatan dan sekaligus pencegahan terhadap penyakit masyarakat yang bernama terorisme ini adalah dengan cara mengembalikan mereka kepada jalan yang benar, jalan akidah yang shahihah yang bersumberkan dari wahyu dan sunnah Nabi, sesuai dengan pemahaman para shahabat dan pengikutnya yang hanya bisa dilakukan dengan kerjasama antara ulama dan umara.

Sungguh sangat disayangkan pada kebanyakan negara-negara Islam atau negara-negara kaum Muslimin menggunakan cara-cara Barat (baca: Yahudi dan Nashrani) –yang jelas-jelas tujuan mereka adalah menghancurkan Islam dan kaum Muslimin– yaitu melakukan tindakan represif dengan mencurigai kaum muslimin, menghalangi dan menekan dakwah Islam secara umum.

Dengan penerapan cara mereka ini, maka yang terjadi adalah kehancuran dan perang sau-dara sesama kaum Muslimin. Atau hi-langnya semangat Islam dari kaum Muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka yang masih hidup dan mengampuni yang telah mati sia-sia aki-bat salah paham tentang arti jihad ini, amien.

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 85/Th. II 30 Swawal 1426 H/02 Desember 2005 M

Metode Selamat (Bagian 1)

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Metode salaf, ahlus sunnah wal jama’ah dalam memahami agama ini sangat tepat dan selamat dari berbagai macam penyimpangan.

1. Dalam masalah Tauhid

Mereka, para ulama ahlus sunnah selalu mementingkan tauhid dan menjeaskan bahwa tauhid لا اله إلاا الله bermakna “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah” (uluhiyyah), sebagaimana terkandung dalam ayat:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا… النساء: 36

Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun… (an-Nisaa’: 36)

Dengan prinsip ini, mereka selamat dari kekafiran atheisme yang tidak bertuhan dan selamat pula dari paganisme yang bertuhan banyak.

2. Dalam masalah Asma’ wa Sifat

Mereka, para ulama ash-habul haits (ahlus sunnah) tidak berani berbicara tentang sifat-sifat Allah kecuali apa yang telah dikatakan oleh Allah dalam al-Qur’an dan apa-apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih. Mereka tidak berani pula menarik maknanya kepada makna lain selain apa yang terdapat pada teksnya. Karena masalah sifat-sifat Allah adalah ghaib, tidak ada seorang pun yang dapat menebak-nebak atau memikirkan dzat Allah.

وَلِلَّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. الأعراف: 180

Hanya milik Allahlah asma’ul husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (al-A’raaf: 180)

Mereka tidak berani pula membayangkan seperti apa atau bagaimananya.
Maka di samping mereka selamat agamanya, juga selamat akalnya. Orang-orang yang mencari-cari sendiri tentang dzat Allah akan tersesat agamanya dan orang yang membayangkan seperti apa atau bagaimana Allah akan rusak akal-nya.

3. Dalam masalah Ibadah

Mereka, para pengikut salafus shalih, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sunnah). Mereka tidak berani merubah-rubah, mengganti, mengurangi atau menambahi dari hasil pemikirannya sendiri. Sebagaimana para rasul memerintahkan kepada kaumnya:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ. الشعراء: 144

Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (asy-Syu’araa: 144)

Yakni bertakwanya kepada Allah tetapi dengan mengikuti dan mentaati rasul-Nya. Maka Tata cara ibadah menurut mereka sudah baku (tauqifiyyah) tidak bisa diubah-ubah.

Dengan demikian mereka selamat dari kebid’ahan-kebid’ahan (ajaran-ajaran baru) yang tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang pertama. Dan selamat pula dari kesesatan para pengingkar sunnah yang menciptakan agama baru.

4. Dalam masalah sunnah

Mereka –sesuai dengan sebutannya ahlus sunnah– senantiasa berpegang dengan sunnah (ajaran nabi) sebagai tafsir dari al-Qur’an, sehingga mereka dapat memahami al-Qur’an dengan tepat seperti apa yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena ucapan, perbuatan dan perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah terjemahan dari al-Qur’an. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ. رواه مسلم وأحمد وأبو داود

Bahwasanya perangai Rasulullah adalah al-Qur’an. (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

sehingga mereka selamat dari kesalahpahaman dalam panafsiran al-Qur’an dan selamat dari kesesatan.

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضُ. رواه الحاكم عن أبي هريرة، وصححه الألباني

Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelah berpegang dengan keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menemuiku di telaga Haud. (HR. Hakim; Syaikh al-Albani menshahihkanya dalam Shahih Jami’us Shaghir)

5. Dalam pemahaman terhadap al-Qur’an dan sunnah

Mereka mengetahui bahwa generasi terbaik umat ini adalah para shahabat nabi. Maka mereka meyakini bahwa para shahabat lebih memahami al-Qur’an dan sunnah. Sehingga dalam memahami, menyimpulkan dan menerapkan al-Qur’an dan sunnah, mereka melihat ucapan-ucapan para shahabat dan keterangan-keterangan dari mereka, karena yang akan mendapatkan keridhaan dari Allah adalah para shahabat Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. التوبة: 100

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)

Sehingga mereka selamat pula dari kesalah-pahaman dan kekeliruan dalam penerapan al-Qur’an dan sunnah.

6. Dalam masalah shahabat nabi

Ahlus sunnah menganggap bahwa para shahabat adalah generasi yang terbaik dan semuanya merupakan rawi-rawi yang adil dan jujur, sehingga mereka menerima riwayat-riwayat haditsnya. Bagi mereka kesepakatan para shahabat merupakan dalil (hujjah) setelah al-Qur’an dan sunnah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa umatku tidak akan sepakat atas kesesatan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ. رواه الترمذي عن ابن عمر، وصححه الألباني في صحيح جميع الصغير

Sesungguhnya Allah ta’ala tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah di atas jama’ah. (HR. Tirmidzi; Syaikh al-Albany menshahihkannya dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir)

Sebagaimana disebutkan dalam atsar dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

“Sesungguhnya Allah melihat para hamba dan mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebaik-baik hati para hamba, maka ia jadikan untuk diri-Nya dan diutus sebagai rasul-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati para hamba dan melihat hati-hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Allah jadikan sebagai pendukung-pendukungnya, pembela-pembela-Nya dan berperang di atas agamanya. Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin itu sebagai kebaikan, maka di sisi Allah hal itu baik. Sebaliknya apa yang dilihat oleh mereka sebagai kejelekan, maka di sisi Allah hal itu merupakan kejelekan. (Atsar Hasan Mauquf; diriwayatkan oleh Thayalisi, Ahmad dan Hakim menshahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi; Demikian komentar Syaikh al-Albani dalam Takhrij Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 470)

Keyakinan ini menyelamatkan mereka dari apa yang telah menyesatkan kaum Syi’ah Rafidhah. Dengan caci-makian mereka terhadap para shahabat, gugurlah syariat ini, karena para shahabat adalah pembawa-pembawa ilmu dan rantai rawi yang pertama yang menjembatani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan generasi-generasi setelahnya.

7. Dalam masalah hadits

Para ulama ahlus sunnah tidak sembarangan menerima riwayat suatu hadits, karena sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ucapan-ucapan para shahabat (atsar-atsar) didapat oleh mereka melalui silsilah para rawi yang telah mereka periksa, apakah rawi-rawi tersebut terpercaya (tsiqah), kuat hafalannya (dhabit), sanadnya bersambung (mutashil) ataukah kebalikannya. Sehingga dengan ilmu (Musthalahul hadits) tersebut, mereka memisahkan antara hadits-hadits yang shahih dan hadits-hadits yang dhaif. Kemudian mereka memakai yang shahih dan meninggalkan yang dlaif.

Hingga mereka selamat dari penyimpangan dikarenakan menyangka itu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan selamat dari kebid’ahan yang dikira perintah nabi ternyata bukan dan selamat pula dari ancaman-ancaman Allah terhadap orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam sebuah hadits yang mutawatir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. متفق عليه

Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya dalam neraka. (HR. Bukhari Muslim dan lain-lainnya)

8. Dalam masalah jihad

Jihad dengan makna perjuangan dakwah menyampaikan syariat agama Allah dan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus berlangsung setiap saat sepanjang masa.

Adapun jihad bermakna perang menumpahkan darah musuh merupakan ibadah yang dilakukan secara berjama’ah yang tidak bisa dilakukan kecuali bersama seorang penguasa (imam). Dan yang diperangi adalah orang-orang kafir harbi. Namun bukan menunggu munculnya imam tertentu seperti Syi’ah Rafidhah, tapi dengan penguasa muslim yang ada sekarang.

Dengan prinsip mereka ini, kaum muslimin selamat dari fitnah dan kekacauan. Kalau saja dibiarkan setiap muslim “berperang” sendiri-sendiri, membunuh orang-orang kafir di mana pun dia temui, maka akan terbunuh orang kafir yang tidak layak dibunuh (perempuan, anak-anak, kafir dzimni, dan kafir mu’ahad) bahkan bisa jadi akan membunuh orang-orang muslim yang dianggap kafir. Maka yang terjadi adalah kekacauan dan pertumpahan darah sesama kaum muslimin.

9. Dalam masalah iman

Para ulama ahlus sunnah sejak zaman salafus shalih sampai hari ini meyakini bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang bahkan bisa hilang sama sekali. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Sehingga ahlus sunnah selamat dari pengkafiran terhadap orang-orang yang masih muslim, karena mengira iman hilang dengan kemaksiatan atau sebaliknya yang menganggap iman tetap utuh dengan kemaksiatan. Mereka yang menyatakan iman hilang dengan kemaksiatan adalah kaum khawarij, sebaliknya yang menyatakan iman tetap utuh dengan kemaksiatan adalah kaum murji’ah. Ada pun ahlus sunnah selamat dari dua jenis kesesatan tersebut, karena mereka menyatakan ahli maksiat sebagai seorang muslim yang lemah imannya.

10. Dalam masalah politik

Mereka para ulama ahlus sunnah tidak mengenal sistem demokrasi dan suara terbanyak karena mereka meyakini dari al-Qur’an dan sunnah bahwa ahlul hak itu sedikit dan kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ. الأنعام: 116

Dan jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (al-An’aam: 116)

Namun mereka tetap menjaga masyarakat kaum muslimin agar tetap bersatu dalam satu pimpinan (penguasa) selama dia masih muslim.
Dengan sikap mereka yang demikian maka umat Islam akan selamat dari pertumpahan darah sesama mereka. Karena jika kedhaliman penguasa muslim diatasi dengan memeranginya secara fisik, niscaya yang akan terjadi adalah perang saudara sesama muslimin.

Sedangkan ketaatan yang dimaksud adalah tidak memberontak atau melawan penguasa secara provokasi atau fisik. Sedangkan ketaatan ahlus sunnah adalah dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Jika mereka memerintahkan kepada dosa dan kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada siapa pun dalam bermaksiat kepada khaliqnya.

Wallahu a’lam.

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 124/Th.III 08 Dzulhijjah 1427 H/30 Desember 2006 M

Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu Abdirrahman Arief Subekti HP 081564690956.

Adab Ziarah Kubur


Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Disyariatkannya Ziarah Kubur

Dalam syariat Islam, disunnahkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran dan peringatan, serta mengingatkan kita pada akhirat. Namun, hal itu tentunya dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang seperti mengucapkan ratapan-ratapan, menyesali takdir, merobek pakaian atau mencabut rambut sebagaimana banyak dilakukan oleh kaum perempuan pada masa jahiliyah.

Diriwayatkan dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ ولْتَزِدْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ، وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا رواه مسلم وأبو داود والبيهقيوالنسائي وأحمد

Aku pernah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah karena ia akan dapat mengingatkan kalian pada akhirat. Dalam riwayat lain: “Hendaklah ziarah tersebut menambah kalian kebaikan”. Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang hendak menziarahinya silakan menziarahinya, tapi jangan mengucapkan ucapan yang batil”. (HR. Muslim, Abu Dawud, Baihaqi, Nasa’i dan Ahmad)

Berkata Imam Nawawi: Al-Hujr adalah ucapan batil. Adapun awal mula dilarangnya ziarah kubur adalah karena dekatnya mereka dengan masa jahiliyah, sehingga dikhawatirkan mereka akan mengucapkan ucapan-ucapan jahiliyah yang batil”.

Adab-adab Ziarah Kubur
  • Pertama, tidak mengucapkan hal-hal yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti mengucapkan ucapan-ucapan yang batil, seperti ratapan, menyesali takdir, tawassul, mengambil kuburan sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dalam hadits di atas.
  • Kedua, khusus bagi wanita tidak boleh menjadi tukang ziarah kubur (sering melakukan ziarah kubur).
    Kaum wanita diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur sebagaimana kaum laki-laki. Hal itu karena hadits yang menyatakan bolehnya ziarah kubur di atas adalah berlaku umum bagi laki-laki maupun wanita.
    Di samping itu Hikmah yang diharapkan dari ziarah kubur –yaitu mengingatkan akhirat—adalah juga berlaku umum bagi laki-laki maupun wanita. Sedangkan hukum berjalan bersama illat (alasan)nya. Kalau illat tersebut ada pada laki-laki dan wanita, maka hukumnyapun berlaku bagi laki-laki dan perempuan. (Ahkamul Janaiz, Syaikh al-Bani, hal. …..)
    Di samping itu Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah memperbolehkan wanita untuk ziarah kubur, seperti dalam hadits yang diriwayat-kan dari Abdullah bin Abi Mulaikah sebagai berikut:
    أَنَّ عَائِشَةَ أَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْمَقَابِرِ، فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّ الْمَؤْمِنِيْنَ مِنْ أَيْنَ أَنْتَ؟ قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقَبْرِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارِتِهَا. وَفِي رِوَايَةٍ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَخَّصَ فِي زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ). (رواه الحاكم والبيهقي)
    Bahwasanya Aisyah رضي الله عنها datang dari kuburan. Aku (Abdullah bin Mulaikah
    -pent) bertanya: “Wahai ummul mukmi-nin, dari mana engkau?” Aisyah رضي الله عنها menjawab: “Dari kuburan Abdurrahman bin Abu Bakar”. Saya katakan: “Bukankah Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melarang zi-arah kubur?” Aisyah menjawab; “Ya, tapi kemudian membolehkan untuk menzi-arahinya”. (HR. Hakim dan Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz, hal. 230)
    Imam Ahmad ketika ditanya tentang wanita yang berziarah kubur, beliau men-jawab: “Aku berharap yang demikian -insya Allah- tidak mengapa, sebab Aisyah رضي الله عنها telah menziarahi kuburan saudaranya”. (Ahkamul Jana-iz, Syaikh al-Bani, hal. …..) Hanya saja diriwayatkan bahwa Allah melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kubur, karena wanita adalah mahluk yang lemah. Seringkali wanita ketika melakukan ziarah kubur akan membawa pada perkara-perkara yang dilarang seperti meratap, tabarruj, meminta kepada si mati, dan berbicara kepadanya. Atau paling tidak menjadikan kuburan sebagai tempat wisata, membuang-buang waktu sebagai-mana yang banyak kita saksikan akhir-akhir ini.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وفي لفظ: لَعَنَ اللهُ) زُوَّارَاتِ الْقُبُورِ. رواه الترمذي وابن ماجه وابن حبان والبيهقي وأحمد وغيرهم عن أبي هريرة؛
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat (dalam lafadh lain: Allah melaknat) wanita-wanita tukang ziarah kubur (yakni sering ziarah kubur). (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, Ahmad dan lain-lain dari Abu Hurairah. Syaikh al-Bani menyatakan bahwa hadits ini tidak kurang dari derajat hasan, namun dia menjadi shahih dengan adanya pendukung-pendukungnya) (lihat Akhamul Jana’iz, hal. 235)
  • Ketiga, Boleh ziarah kubur di malam hari
    Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggilir Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau keluar di akhir malam menuju pekuburan Baqi’, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan doa: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ غَدًا مُؤَجَّلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ِلأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ. رواه مسلم
    Semoga keselamatan atasmu penghuni kubur dari kaum mukminin. Dan telah telah datang kepada kalian apa-apa yang telah dijanjikan besok akan menemui. Dan sesungguhnya jika Allah menghendaki ka-mi akan mengikuti kalian. Ya Allah ampunilah dosa penghuni Baqi’ al-Gharqad. (HR. Muslim, Nasa’i, Baihaqi dan Ahmad)
  • Keempat, memberikan salam ketika memasuki area kuburan kaum muslimin, dan memberikan kabar dengan api neraka jika memasuki kuburan orang-orang kafir.
    Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa yang harus diucapkan ketika ziarah kubur?” Beliau men-jawab: السَلاَمُ على أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ َللاَحِقُونَ. رواه مسلم
    Semoga keselamatan atas penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan terakhir dari kalian. Dan kami juga jika Allah kehendaki akan menyusul kalian. (HR. Muslim dan lainnya)
    Sebaliknya ketika melewati kuburan orang-orang kafir, kita diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberikan kabar kepada mereka dengan api neraka.
    Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash, bahwa ada seorang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya: “Sesungguhnya ayahku dahulu adalah seorang yang suka menyambung tali silaturahim, dia begini dan begitu (memuji ayahnya pent.). Di mana dia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Dia ada di neraka”. Maka sepertinya Badui itu merasa sedih dan berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana ayahmu?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Di mana pun kamu melewati kuburan orang kafir, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan api neraka.” (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh syaikh al-Bani dalam Ash-Shahihah, hadits No. 18)
  • Kelima, tidak membaca al-Qur’an di atas kuburan
    Adapun tentang membaca al-Qur’an ketika ziarah kubur, maka hal itu tidak disunnahkan dilakukan di atas kuburan, baik yang dibaca surat Yasin ataupun surat-surat lainnya.
    Dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ. رواه مسلم والترمذي والنسائي والبيهقي وأحمد
    Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah. (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Baihaqi dan Ahmad)
    Kalimat “Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan” menunjukkan tidak disunnahkannya membaca al-Qur’an di kuburan.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam kitab beliau Iqtidla Shirathal Mus-taqim berkata: “Tidak didapati dari imam Syafi’i sendiri pembicaraan tentang masalah ini, karena yang demikian (yakni membaca al-Qur’an di atas kuburan pent.) menurut beliau adalah bid’ah. Demikian pula imam Malik berkata: “Aku tidak mengetahui seorang pun ada yang mengerjakannya”. Hal ini berarti para shahabat dan tabi’in tidak ada yang mengerjakannya (karena imam Malik adalah atba’ut tabi’in pent). (Lihat Ahkamul Janaiz, Syaikh al-Bani, hal. 242)
    Berkata Syaikh al-Bani: “Adapun membaca al-Qur’an ketika melakukan ziarah kubur, maka hal itu tidak ada asalnya dalam sunnah. Bahkan disebutkan dalam banyak hadits tentang masalah ini yang menunjukkan tidak disyari’atkannya. Jika membaca al-Qur’an merupakan hal yang disyari’atkan, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukan dan mengajarkan kepada para shahabatnya”. (Ahkamul Janaiz, Syaikh al-Bani, hal. 241)
  • Keenam, tidak mengerjakan shalat menghadap kuburan
    Di samping tidak disyari’atkannya membaca al-Qur’an di kuburan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melarang untuk melakukan shalat menghadapnya dengan sabdanya: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا. رواه مسلم
    Shalatlah di rumah-rumah kalian (yakni shalat sunnah –pent.), dan jangan kau jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. (HR. Muslim)
    Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa perbedaan rumah dengan kuburan adalah jika di rumah kita dianjurkan untuk melakukan shalat-shalat sunah, sedangkan pada kuburan kita dilarang melakukannya.
  • Ketujuh, boleh mengangkat tangan ketika mendoakan mayit
    Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu malam hari, aku mengutus Barirah radhiallahu ‘anha untuk mengikuti jejak kemana beliau pergi. Barirah berkata: فَسَلَكَ نَحْوَ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَوَقَفَ فِي أَدْنَى الْبَقِيعِ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفَ.
    Beliau berjalan menuju kuburan Baqi’ al-Gharqad, kemudian berdiri berdoa di tempat terendah di Baqi’ seraya mengangkat tangannya, kemudian pergi”.
    Pada keesokan harinya, aku bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ya Rasulullah ke mana engkau tadi malam?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aku diutus untuk mendatangi kuburan Baqi’ guna mendoakan mereka”.
  • Kedelapan, tidak menghadap kuburan ketika berdoa, tetapi tetap menghadap kiblat
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk melakukan shalat menghadap kuburan, sedangkan doa adalah merupakan inti dari shalat. Oleh karena itu kita dilarang pula menghadap kuburan ketika berdoa, sebagaimana kita dilarang shalat di atasnya pada hadits di atas.
  • Kesembilan, Dianjurkan tidak memakai sandal ketika berjalan di antara kuburan
    Telah diriwayatkan dari Basyir bin Khashashiyah, beliau berkata: “Ketika aku berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di kuburan kaum muslimin. Pada saat beliau berjalan, tiba-tiba pandangannya tertuju pada suatu arah, yaitu seseorang berjalan di antara kuburan dengan memakai kedua sandalnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: يَا صَاحِبَ السَّبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِ سَبْتِيَتَيْكَ!
    Wahai pemakai dua sandal, lepaskanlah kedua sandalmu itu.
    Maka ketika orang tersebut mengetahui bahwa yang memerintahkannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia pun melepaskan dan melemparkan kedua sandalnya. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu majah, Ibnu Abi Syaibah, Hakim, Baihaqi, Thayalisi dan Ahmad).
    Abu Dawud dalam Masailnya berkata: “Aku melihat imam Ahmad jika mengantarkan jenazah, jika telah dekat dengan kuburan, maka ia melepaskan kedua sandalnya”. (Lihat Ahkamul Janaiz, Syaikh al-Bani, hal. 253) (Diringkas dari kitab Ahkamul Jana-iz karya Syaikh al-Bani)
Wallahu a’lam.

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 58/Th. II 13 Rabi’ul Awwal 1426 H/22 April 2005 M.

Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu Abdirrahman Arief Subekti.

Kumpulan Seputar Aqidah


Topik Selengkapnya »

Terorisme


Topik selengkapnya »
 
Ma'had Dhiya'us Sunnah
Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Harjamukti, Cirebon, Jawa Barat
Copyright © 2012 kajian-cirebon.blogspot.com | Email: info[at]dhiyaussunnah.com | Desain asli oleh Herdiansyah Hamzah