News Update :

Metode Yang Selamat (Bagian 2)

Tuesday, January 1, 2013

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

10. Masalah Taqdir

Para ulama ahlus sunnah sejak zaman shahabat sampai hari ini berkeyakinan bahwa semua apa yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ. القمر: 49

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan taqdir. (al-Qamar: 49)

Namun mereka tetap berupaya dan berusaha untuk beramal sesuai dengan perintah Allah dalam syariat-Nya. Dengan keyakinan bahwa Allah yang menentukan mereka tidak sombong dengan usahanya dan terus berharap kepada Allah.

Dengan prinsip ini mereka selamat dari kesesatan aliran Qadariyah dan Mu’tazilah yang mengingkari adanya taqdir Allah dan juga selamat dari kesesatan aliran Jabriyyah yang pasrah kepada taqdir dan tidak mau berupaya dan berusaha, bahkan mereka menolak syariat dan menganggap bahwa orang kafir tidak bersalah dan tidak perlu dicela dan orang yang beriman tidak perlu dipuji karena semua itu dengan taqdir Allah.

11. Masalah Ketaqwaan

Ahlus sunnah menilai seseorang dengan ketaqwaannya, tidak melihat turunan atau bentuk tubuhnya, apalagi status sosialnya. Karena menurut mereka orang yang paling mulia adalah orang yang paling taqwa.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujuraat: 13)

Ketaqwaan yang dimaksud adalah taat dan tunduknya seseorang kepada al-Qur’an dan sunnah, maka jika aqidah seseorang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah demikian pula amalan ibadahnya mengikuti sunnah, maka dia adalah seorang yang bertaqwa secara lahirnya, sedangkan hatinya adalah urusan Allah subhanahu wa Ta’ala.

12. Masalah Pergaulan

Para ulama ahlus sunnah sejak dulu selalu memperingatkan agar berhati-hati dalam pergaulan agar kita tidak ‘bergaul’ kecuali dengan seorang yang taqwa yaitu yang bertauhid, berpegang dengan sunnah dan mengikuti jejak para shahabat. Atau paling tidak dengan orang awam yang masih menghormati sunnah. Hal ini adalah dalam rangka menjaga kita agar jangan sampai terbawa dengan pemikiran-pemikiran rancu dan pemahaman sesat. Tentunya para ulama memperingatkan yang seperti ini berdasarkan ayat dan hadits seperti:

يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلاَنًا خَلِيلاً. الفرقا: 28

Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab (ku). (al-Furqan: 28)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِطُ. رواه أحمد

Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya. Maka lihatlah sesorang di antara kalian dengan siapa dia bergaul. (HR. Ahmad)

Dengan prinsip ini kita selamat dari kejumudan sufi yang tidak bergaul dan tidak amar ma’ruf nahi mungkar mengikuti para biarawati di gereja-gerejanya dan selamat pula dari kelompok yang justru membanggakan “keluwesannya” dalam bergaul. Mereka bisa bergaul dengan kelompok sesesat apapun sehingga mereka dikenal dengan istilah ‘dai gaul’, moderat, yang akhirnya sadar atau tidak sadar ia melenceng jauh dari jalan sunnah.

13. Masalah Pengkafiran

Ahlus sunnah tidak sembarangan mengkafir-kafirkan kaum muslimin. Karena menurut mereka tidak setiap orang yang melakukan perbuatan kufur, maka ia kafir. Seperti perbuatan seorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah perbuatan kufur seperti ayat Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ. المائدة: 44

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (al-Maaidah: 44)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah “kufrun duuna kufrin” yang artinya perbuatan kufur yang tidak membawa pada kekafiran. (Atsar riwayat Hakim; dan dishahihkan oleh Hakim dan disepakati oleh Dzahabi)

Maka bagi seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah bisa jadi kafir keluar dari Islam, bisa jadi pula seorang yang berdosa besar namun tidak kafir, yang demikian tergantung keadaan niat, keadaan ilmu yang sampai padanya dan lain-lain.

Dengan ini mereka selamat dari kesesatan khawarij yang menyamaratakan mereka yang bodoh, terpaksa, terbawa hawa nafsu atau yang menentang Allah dan rasul-Nya dengan sengaja, maka mereka pun mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.

14. Masalah Tabdi’
Dalam masalah tabdi’ pun para ulama memiliki kaidah agar kita tidak sembarangan mencap seorang sebagai ahlul bid’ah (mubtadi’) karena tidak setiap orang yang melakukan kebid’ahan berarti dia mubtadi’. Bisa jadi ia tidak mengerti, maka yang diperlukan adalah memberikan pengertian kepadanya. Atau bia jadi ia memakai hadits yang dikira shahih ternyata hadits tersebut dhaif, maka yang diperlukan adalah penjelasan tentang kedhaifan hadits tersebut.

Dengan dakwah sunnah kepada mereka dengan jelas dan gamblang akan terbedakan mana orang-orang yang bodoh dan tidak mengerti dan mana para penentang sunnah yang menentang hadits shahih dengan perasaan dan hawa nafsunya (ahlul ahwa).

Dengan kaidah ini kita selamat dari pemikiran ekstrim haddadiyyah yang meninggalkan kitab-kitab para ulama ahlus sunnah yang terlgelincir pada beberapa kebid’ahan seperti Ibnu Hajar dan Imam Nawawi.

15. Masalah Dakwah

Dalam masalah dakwah para ulama mengelompokkan manusia dalam tingkatan-tingkatan tertentu dengan cara dakwah tertentu pula seperti ucapan Ibnul Qayyim bahwa manusia ada 3 jenis.
  1. Manusia yang siap menerima, maka didakwahi dengan hikmah yaitu dengan ilmu (perintah dan larangan).
  2. Manusia yang tergoda dengan dunia maka dia didakwahi dengan mauidhah hasanah yaitu dengan targhib dan tarhib (kabar gembira dan ancaman).
  3. Manusia yang menentang dakwah , maka didakwahi dengan bantahan-bantahan yang baik dengan hujjah-hujjahnya yang tegas dan jelas.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل: 125

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an-Nahl: 125)

16. Masalah Hikmah

Menurut ulama ahlus sunnah, makna hikmah tidak mesti harus selalu berbuat lembut, tidak pula harus selalu keras. Hikmah di samping bermakna ilmu seperti point di atas, juga dapat bermakna ketepatan dalam penerapan dakwah. Kapan ki-ta harus bersikap keras dan kapan pula kita harus bersikap lembut?

Adapun hukum asal dalam berdakwah adalah dengan kelembutan. Kalau ternyata cukup dengan kelembutan, mengapa harus dengan kekerasan? Namun pada saat dan dalam kondisi tertentu, sikap keras kadang-kadang diperlukan, karena seekor sapi tidak akan mengerti kecuali dengan cemeti.
Dengan prinsip ini, maka mereka selamat kejelekan-kejelekan yang diakibatkan salah penempatan.

17. Masalah Jama’ah

Perintah jama’ah menurut para ulama ahlus sunnah adalah masyarakat muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Mereka memahami hadits-hadits tentang jama’ah dengan makna ini, seperti apa yang terdapat dalam hadits:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ. متفق عليه

Tetaplah kamu bersama jama’ah kaum muslimin dan pimpinannya. (HR. Bukhari Muslim)

…عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ… رواه الترمذي

Wajib bagi kalian berjama’ah dan jauhilah dari perpecahan. Karena sesungguhnya setan beserta orang yang satu, dan dengan dua orang lebih jauh. Barangsiapa yang menghendaki tengah-tengahnya surga, maka wajib baginya bersama jama’ah. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim; Syaikh al-Abani menshahihkannya dalam Shahih Jami’ ash-Shagir)

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. متفق عليه

Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dibencinya dari penguasanya, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya barangsiapa yang melepaskan dari jama’ah sejengkal saja kemudian ia mati, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. (HR. Bukhari Muslim)

Betapa mengerikannya kalau hadits-hadits seperti di atas ditarik pada makna kelompok-kelompok, organisasi-organisasi atau partai-partai tertentu. Karena yang akan terjadi adalah kebingungan masyarakat muslimin. Jika mereka ada dalam kelompok yang satu dianggap jahiliyyah oleh kelompok yang lain. Jika ia tunduk kepada pimpinan kelompok A, maka akan dianggap bughat (pemberontak) oleh kelompok B.

18. Masalah Imamah
B
erkaitan dengan point di atas, ahlus sunnah menyatakan bahwa seorang imam adalah penguasa yang benar-benar memiliki kekuasaan di wilayahnya, selama mereka masih muslimin. Bukan pimpinan orgaisasi, ataupun kelompok-kelompok sempalan, walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Jama’ah Islamiyah (JI). Apalagi pimpinan-pimpinan partai tertentu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

…وَمَنْ يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي. متفق عليه

Barangsiapa yang mentaati penguasanya maka ia telah mentaatiku. Dan barang-siapa yang bermaksiat kepada penguasanya, maka ia telah bermaksiat kepadaku. (HR. Bukhari Muslim)

19. Masalah Bai’at

Demikian pula dengan masalah baiat yang bermakna sumpah setia dengan nama Allah untuk tetap tunduk dan taat, ahlus sunnah menyatakan bahwa baiat itu hanya ditujukan kepada imamul a’zham yaitu penguasa muslim selama ia muslim dan masih mengerjakan shalat, bukan kepada pimpinan kelompok organisasi atau pun partai-partai tertentu.

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم

Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dengan tidak ada hujjah baginya. Dan barangsiapa yang mati dan tidak ada di lehernya baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. (HR. Muslim)

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika setiap kelompok mempunyai imam, JI dengan imamnya sendiri, demikian pula dengan Islam Jama’ah, Jama’ah Muslimin (Jamus), NII dan lain-lainnya, dan semuanya mengajak kaum muslimin berbaiat kepada imamnya masing-masing? Sedangkan jika ada dua/lebih kepemimpinan yang dibaiat, maka diperintahkan untuk memerangi salah satunya. Maka mesti yang akan terjadi adalah perang saudara sesama muslimin.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا بُوْيِعَ خَلِيْفَتَانِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم

Jika dibai’at dua khalifah, maka perangilah yang terakhir dari keduanya. (HR. Muslim)

Demikianlah prinsip-prinsip ahlus sunnah secara ringkas yang kami sarikan dari kitab-kitab para ulama seperti: Aqidah Salaf oleh Imam Abu Utsman Ash-Shabuni, Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahari, asy-Syari’ah oleh imam al-Aajurri, Majmu’ Fatawa juz 3 dan 4 oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dan lain-lain.

Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 125/Th. III 22 Dzulhijjah 1427 H/12 Januari 2007 M.
Share this Article on :

0 comments:

Post a Comment

 
Ma'had Dhiya'us Sunnah
Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Harjamukti, Cirebon, Jawa Barat
Copyright © 2012 kajian-cirebon.blogspot.com | Email: info[at]dhiyaussunnah.com | Desain asli oleh Herdiansyah Hamzah