Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Metode salaf, ahlus sunnah wal jama’ah dalam memahami agama ini sangat tepat dan selamat dari berbagai macam penyimpangan.
1. Dalam masalah Tauhid
Mereka, para ulama ahlus sunnah selalu mementingkan tauhid dan menjeaskan bahwa tauhid لا اله إلاا الله bermakna “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah” (uluhiyyah), sebagaimana terkandung dalam ayat:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا… النساء: 36
Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun… (an-Nisaa’: 36)
Dengan prinsip ini, mereka selamat dari kekafiran atheisme yang tidak
bertuhan dan selamat pula dari paganisme yang bertuhan banyak.
2. Dalam masalah Asma’ wa Sifat
Mereka, para ulama ash-habul haits (ahlus sunnah) tidak berani berbicara
tentang sifat-sifat Allah kecuali apa yang telah dikatakan oleh Allah
dalam al-Qur’an dan apa-apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits-hadits yang shahih. Mereka tidak berani pula menarik
maknanya kepada makna lain selain apa yang terdapat pada teksnya. Karena
masalah sifat-sifat Allah adalah ghaib, tidak ada seorang pun yang
dapat menebak-nebak atau memikirkan dzat Allah.
وَلِلَّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
الأعراف: 180
Hanya milik Allahlah asma’ul husna, maka mohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (al-A’raaf: 180)
Mereka tidak berani pula membayangkan seperti apa atau bagaimananya.
Maka di samping mereka selamat agamanya, juga selamat akalnya.
Orang-orang yang mencari-cari sendiri tentang dzat Allah akan tersesat
agamanya dan orang yang membayangkan seperti apa atau bagaimana Allah
akan rusak akal-nya.
3. Dalam masalah Ibadah
Mereka, para pengikut salafus shalih, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
(sunnah). Mereka tidak berani merubah-rubah, mengganti, mengurangi atau
menambahi dari hasil pemikirannya sendiri. Sebagaimana para rasul
memerintahkan kepada kaumnya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ. الشعراء: 144
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (asy-Syu’araa: 144)
Yakni bertakwanya kepada Allah tetapi dengan mengikuti dan mentaati
rasul-Nya. Maka Tata cara ibadah menurut mereka sudah baku (tauqifiyyah)
tidak bisa diubah-ubah.
Dengan demikian mereka selamat dari kebid’ahan-kebid’ahan (ajaran-ajaran
baru) yang tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang pertama. Dan
selamat pula dari kesesatan para pengingkar sunnah yang menciptakan
agama baru.
4. Dalam masalah sunnah
Mereka –sesuai dengan sebutannya ahlus sunnah– senantiasa berpegang
dengan sunnah (ajaran nabi) sebagai tafsir dari al-Qur’an, sehingga
mereka dapat memahami al-Qur’an dengan tepat seperti apa yang dipahami
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena ucapan, perbuatan dan perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah terjemahan dari al-Qur’an. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ. رواه مسلم وأحمد وأبو داود
Bahwasanya perangai Rasulullah adalah al-Qur’an. (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)
sehingga mereka selamat dari kesalahpahaman dalam panafsiran al-Qur’an dan selamat dari kesesatan.
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابُ
اللهِ وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضُ.
رواه الحاكم عن أبي هريرة، وصححه الألباني
Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan
tersesat setelah berpegang dengan keduanya, yaitu kitabullah dan
sunnahku. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menemuiku di telaga
Haud. (HR. Hakim; Syaikh al-Albani menshahihkanya dalam Shahih Jami’us Shaghir)
5. Dalam pemahaman terhadap al-Qur’an dan sunnah
Mereka mengetahui bahwa generasi terbaik umat ini adalah para shahabat
nabi. Maka mereka meyakini bahwa para shahabat lebih memahami al-Qur’an
dan sunnah. Sehingga dalam memahami, menyimpulkan dan menerapkan
al-Qur’an dan sunnah, mereka melihat ucapan-ucapan para shahabat dan
keterangan-keterangan dari mereka, karena yang akan mendapatkan
keridhaan dari Allah adalah para shahabat Muhajirin dan Anshar, dan
orang-orang yang mengikuti mereka.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. التوبة: 100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)
Sehingga mereka selamat pula dari kesalah-pahaman dan kekeliruan dalam penerapan al-Qur’an dan sunnah.
6. Dalam masalah shahabat nabi
Ahlus sunnah menganggap bahwa para shahabat adalah generasi yang terbaik
dan semuanya merupakan rawi-rawi yang adil dan jujur, sehingga mereka
menerima riwayat-riwayat haditsnya. Bagi mereka kesepakatan para
shahabat merupakan dalil (hujjah) setelah al-Qur’an dan sunnah. Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa umatku tidak akan sepakat atas kesesatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ
اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ. رواه الترمذي عن ابن عمر، وصححه الألباني في
صحيح جميع الصغير
Sesungguhnya Allah ta’ala tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah di atas jama’ah. (HR. Tirmidzi; Syaikh al-Albany menshahihkannya dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir)
Sebagaimana disebutkan dalam atsar dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sesungguhnya
Allah melihat para hamba dan mendapati hati Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam sebaik-baik hati para hamba, maka ia jadikan untuk
diri-Nya dan diutus sebagai rasul-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati
para hamba dan melihat hati-hati para shahabat adalah sebaik-baik hati
para hamba, maka Allah jadikan sebagai pendukung-pendukungnya,
pembela-pembela-Nya dan berperang di atas agamanya. Maka apa yang
dilihat oleh kaum muslimin itu sebagai kebaikan, maka di sisi Allah hal
itu baik. Sebaliknya apa yang dilihat oleh mereka sebagai kejelekan,
maka di sisi Allah hal itu merupakan kejelekan. (Atsar Hasan
Mauquf; diriwayatkan oleh Thayalisi, Ahmad dan Hakim menshahihkan dan
disepakati oleh adz-Dzahabi; Demikian komentar Syaikh al-Albani dalam
Takhrij Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 470)
Keyakinan ini menyelamatkan mereka dari apa yang telah menyesatkan
kaum Syi’ah Rafidhah. Dengan caci-makian mereka terhadap para shahabat,
gugurlah syariat ini, karena para shahabat adalah pembawa-pembawa ilmu
dan rantai rawi yang pertama yang menjembatani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan generasi-generasi setelahnya.
7. Dalam masalah hadits
Para ulama ahlus sunnah tidak sembarangan menerima riwayat suatu hadits, karena sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan ucapan-ucapan para shahabat (atsar-atsar) didapat oleh mereka
melalui silsilah para rawi yang telah mereka periksa, apakah rawi-rawi
tersebut terpercaya (tsiqah), kuat hafalannya (dhabit), sanadnya
bersambung (mutashil) ataukah kebalikannya. Sehingga dengan ilmu
(Musthalahul hadits) tersebut, mereka memisahkan antara hadits-hadits
yang shahih dan hadits-hadits yang dhaif. Kemudian mereka memakai yang
shahih dan meninggalkan yang dlaif.
Hingga mereka selamat dari penyimpangan dikarenakan menyangka itu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan selamat dari kebid’ahan yang dikira perintah nabi ternyata bukan
dan selamat pula dari ancaman-ancaman Allah terhadap orang-orang yang
berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam sebuah hadits yang mutawatir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. متفق عليه
Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya dalam neraka. (HR. Bukhari Muslim dan lain-lainnya)
8. Dalam masalah jihad
Jihad dengan makna perjuangan dakwah menyampaikan syariat agama Allah dan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus berlangsung setiap saat sepanjang masa.
Adapun jihad bermakna perang menumpahkan darah musuh merupakan ibadah
yang dilakukan secara berjama’ah yang tidak bisa dilakukan kecuali
bersama seorang penguasa (imam). Dan yang diperangi adalah orang-orang
kafir harbi. Namun bukan menunggu munculnya imam tertentu seperti Syi’ah
Rafidhah, tapi dengan penguasa muslim yang ada sekarang.
Dengan prinsip mereka ini, kaum muslimin selamat dari fitnah dan kekacauan. Kalau saja dibiarkan setiap muslim “berperang”
sendiri-sendiri, membunuh orang-orang kafir di mana pun dia temui, maka
akan terbunuh orang kafir yang tidak layak dibunuh (perempuan,
anak-anak, kafir dzimni, dan kafir mu’ahad) bahkan bisa jadi akan
membunuh orang-orang muslim yang dianggap kafir. Maka yang terjadi
adalah kekacauan dan pertumpahan darah sesama kaum muslimin.
9. Dalam masalah iman
Para ulama ahlus sunnah sejak zaman salafus shalih sampai hari ini
meyakini bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang bahkan bisa
hilang sama sekali. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan.
Sehingga ahlus sunnah selamat dari pengkafiran terhadap orang-orang yang
masih muslim, karena mengira iman hilang dengan kemaksiatan atau
sebaliknya yang menganggap iman tetap utuh dengan kemaksiatan. Mereka
yang menyatakan iman hilang dengan kemaksiatan adalah kaum khawarij, sebaliknya yang menyatakan iman tetap utuh dengan kemaksiatan adalah kaum murji’ah.
Ada pun ahlus sunnah selamat dari dua jenis kesesatan tersebut, karena
mereka menyatakan ahli maksiat sebagai seorang muslim yang lemah
imannya.
10. Dalam masalah politik
Mereka para ulama ahlus sunnah tidak mengenal sistem demokrasi dan suara
terbanyak karena mereka meyakini dari al-Qur’an dan sunnah bahwa ahlul
hak itu sedikit dan kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ
يَخْرُصُونَ. الأنعام: 116
Dan jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah). (al-An’aam: 116)
Namun mereka tetap menjaga masyarakat kaum muslimin agar tetap bersatu dalam satu pimpinan (penguasa) selama dia masih muslim.
Dengan sikap mereka yang demikian maka umat Islam akan selamat dari
pertumpahan darah sesama mereka. Karena jika kedhaliman penguasa muslim
diatasi dengan memeranginya secara fisik, niscaya yang akan terjadi
adalah perang saudara sesama muslimin.
Sedangkan ketaatan yang dimaksud adalah tidak memberontak atau melawan
penguasa secara provokasi atau fisik. Sedangkan ketaatan ahlus sunnah
adalah dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Jika mereka memerintahkan
kepada dosa dan kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada siapa pun
dalam bermaksiat kepada khaliqnya.
Wallahu a’lam.
Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 124/Th.III 08 Dzulhijjah 1427 H/30 Desember 2006 M
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at.
Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp.
bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl.
Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185.
Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed;
Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143;
Sirkulasi/pemasaran: Abu Abdirrahman Arief Subekti HP 081564690956.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment